Temuan Komisi VI DPR Beras Impor Tahun 2018 Numpuk Di Gudang Bulog

Anggota Komisi VI DPR Daeng Muhammad mengungkap permainan impor beras yang tidak hanya merugikan petani, tapi juga membuat Perum Bulog buntung. Bulog ditaksir merugi triliunan rupiah.

“Saya kemarin datang ke (gudang) Bulog. Nah, itu ada tumpukan beras impor yang dari India dan dari Vietnam,” kata Daeng di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (4/2/2021).

Daeng menuturkan, beras impor tersebut didatangkan sekitar tahun 2018. Beras tersebut telah numpuk selama tiga tahun dan dibiarkan tidak terdistribusi sama sekali. Namun Daeng sendiri tidak merinci berapa total beras impor yang ada di gedung Bulog. Yang jelas, di setiap gudang dilaporkan menyimpan antara 4.000 hingga 8.000 ton beras impor.

Politisi senior PAN ini menegaskan, sejak awal telah menentang kebijakan impor beras. Di samping dilakukan saat petani tengah panen raya, data dari Kementerian Pertanian (Kementan) saat itu juga mengungkap, sejatinya swasembada beras telah berhasil.

Walau pada akhirnya impor beras tersebut tetap dilaksanakan. Namun menjadi ironi lantaran kebijakan impor beras yang direkomendasikan Kementan ternyata beda jauh dengan yang terlaksana.

“Mentan rekomendasikan 500 ribu ton, tapi impor beras yang masuk ke kita 1,8 juta ton. Akhirnya ribut. Tapi yang terjadi apa? Barang itu numpuk di Bulog karena Bulog hanya menjalankan politik tata niaga impor yang dilakukan secara salah,” katanya.

Akibatnya, Bulog terpaksa mengeluarkan biaya hanya untuk menyimpan beras-beras impor yang sudah menahun di gudangnya. Padahal untuk biaya sewa gudang saja, Bulog harus mengeluarkan biaya hingga Rp 120 miliar. “Bahkan dia kena bunga Rp 1,2 trilin per tahun waktu itu. Artinya ada persoalan dari impor-impor yang kita lakukan,” katanya.

Karena itu, dia meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag), jika memang terpaksa impor, tidak boleh sampai mengganggu komoditas-komoditas pertanian yang bisa diproduksi di dalam negeri.

Lindungi petani. Supaya mereka ketika bertani punya semangat. Ketika panen, komoditas yang mereka jual betul-betul menguntungkan. Sudah menjadi pemandangan umum jika selama ini setiap kali panen raya, harga di tingkat petani justru ambruk.

“Jadi bisa dibayangkan ada beras (impor) yang dijual Rp 8.000 hingga Rp 8.500 per kilogram. Sementara harga produksi kita tidak cukup untuk seperti itu,” katanya.

Dia mengingatkan situasi pandemi sekarang juga sangat dirasakan petani. Mereka mengeluhkan kelangkaan pupuk saat ini. Untuk memperoleh pupuk subsidi saja sulitnya setengah mati. Akibatnya, petani membeli pupuk non subsidi yang tentu menyebabkan ongkos produksi jauh lebih besar.

“Ok lah kita tidak menafikan, kita juga butuh impor untuk keseimbangan stabilisasi dan lain-lain. Saya pahami itu. Tapi apa yang bisa dilakukan (diproduksi) di dalam negeri, didorong. Lebih khusus sektor pertanian yang merupakan harga diri bangsa kita. Sehingga sektor pertanian tetap eksis, petani terproteksi,” pungkas dia. [KAL]

]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *