Perluasan Usaha Keagenan Berpotensi Ganggu Stabilitas Usaha Pelayaran

Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) turunan dari Undang-Undang (UU) Cipta Kerja terkait perluasan kegiatan usaha pelayaran melalui keagenan (broker) dinilai berpotensi menimbulkan persaingan tidak sehat pada industri pelayaran nasional. Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menyebut, kontroversi ini tertera pada Pasal 44 RPP tersebut. 

“Beleid baru ini bisa berdampak kepada kegiatan usaha kapal nasional. Selain itu, hanya menguntungkan agen atau broker dalam kegiatan usaha angkutan laut di Tanah Air,” ujar Agus, dalam diskusi daring bertajuk “Dampak Kebijakan Kelautan kepada Industri Pelayaran Nasional”, Kamis (4/2). 

Pasal 44 RPP sektor transportasi UU Cipta Kerja itu menyebut, agen umum yang melakukan angkutan laut khusus adalah perusahaan atau badan hukum yang tidak memiliki kapal. Kebijakan ini berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 yang menyebut, “pelaksana kegiatan angkutan laut asing yang melakukan kegiatan angkutan laut khusus ke pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri, wajib menunjuk perusahaan angkutan laut nasional (yang memiliki kapal) dan pelaksana kegiatan angkutan laut khusus (yang juga memiliki kapal) sebagai agen umum.”

Padahal, dua sektor bisnis ini tidak berimbang. Yang satu tidak perlu kapal dan hanya perlu kantor kecil. Sementara, lainnya perlu kapal dan memiliki sumber daya manusia (SDM) yang besar. Kewajibannya berbeda, tapi haknya sama.

“Agen umum dan pemilik kapal adalah dua sektor bisnis yang tidak berimbang, namun bisnisnya disatukan dan dibolehkan untuk bersaing. Hal ini dirasa agak merepotkan,” lanjutnya. 

Harusnya, kata Agus, kerja agen lebih pada bidang administrasi, bukan ikut mencari muatan kapal. Hal ini membuat agen tak berbeda seperti calo. “Hal tersebut dipastikan bakal mematikan industri kapal dalam negeri.  Karena itu harus ada upaya untuk memperbaiki agar RPP kembali seperti dulu lagi, agen adalah agen, tidak boleh mencari muatan,” tandasnya. 

Dalam acara yang sama, pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan, RPP itu membuka pintu lebar masuknya kapal-kapal asing untuk beroperasi di Indonesia, dengan catatan, sejauh belum tersedia atau moda transportasi belum memadai. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang akan menentukan, apakah kapal-kapal di Indonesia ini memadai atau tidak.

“Persoalannya adalah bagaimana menempatkan kepentingan negara dalam pengelolaan. Seluruh sumber-sumber daya alam, termasuk laut, diabadikan untuk kepentingan nasional atau rakyat kita. Bagaimana laut itu kita gunakan untuk mensejahterakan rakyat kita, bukan untuk negara lain,” beber Margarito. 

Beleid baru ini juga dikatakan Pengamat Industri Pelayaran, Tri Achmadi, akan menimbulkan persaingan bisnis yang tidak sehat dalam industri pelayaran karena menyatukan dua kepentingan bisnis yang berbeda entitasnya. “Kebijakan apapun dalam transportasi laut harus mengacu pada fungsi utama dari transportasi tersebut, yaitu sebagai penghubung antar wilayah. Jangan sampai kebijakan itu nantinya mengalihkan fungsi infrastruktur berubah menjadi perang pasar,” tegas Tri. [OKT]

]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *