Membangun Peradaban Berbasis Masjid (1) Memahami Hakekat Masjid (1)

Masjid  berasal dari akar kata sajada-yasjudu, berarti menundukkan diri. Dari akar kata itu lahir kata sajid (orang yang sujud), masjid (tempat sujud), dan sujud (menudukkan diri secara total di hadapan kebesaran Allah SWT).

Jika yang sujud di lantai hanya kepala secara fisik, tetapi isi kepala dan kecerdasan lainnya seperti akal pikiran, kalbu, dan jiwa tidak ikut sujud, bahkan mungkin masih berkeliaran di luar, hal itu sebenarnya baru bisa disebut sajada, belum bisa disebut sujud.

Hakekat masjid sesungguhnya memfasilitasi para sajid untuk melakukan sujud di hadapan kebesaran Allah SWT. Masjid biasa juga disebut mushalla, langgar, surau, meunasah (di Aceh). Tempat sujud khusus yang dibuat di rumah, misalnya di samping lemari yang mungkin seukuran dengan sajadah biasa dinamai oleh praktisi tarekat dengan zawiyah.

Zawiyah ini lebih kecil daripada mushalla, tidak dimaksudkan sebagai tempat untuk shalat berjamaah. Apapun namanya, semua tempat sujud bisa disebut masjid. Bahkan Nabi pernah bersabda: Al-Ardlu masjid (permukaan bumi ini adalah masjid). Pematang sawahnya petani bisa berfungsi masjid, perahunya nelayan bisa berfungsi masjid, dan tentu saja kantorkantor tempat kerja kita bisa disebut masjid. Semua jenis masjid adalah tempat untuk menggodok diri manusia untuk menjadi ahli sujud (Al-Sajid).

 

Dari sudut pandang hakekat, badan manusia juga disebut masjid, karena di dalam badan itu ada kalbu, jiwa, akal pikiran, yang harus sujud. Badan manusia disebut “pakaian” (Al-Tsiyab) atau casing yang membungkus organ penting di dalam diri manusia.

Bahkan kalangan Syi’ah menganggap tubuh manusia sebagai “Baitullah” karena di dalamnya juga ada roh suci Tuhan yang ditiupkan ke dalam diri manusia. Jika badan manusia sebagai “Baitullah” maka badan manusia juga adalah kiblat.

Itulah sebabnya ayat mengatakan: Wa tsiyabaka fathahhir (dan pakaianmu hendaklah engkau bersihkan/QS Al-Muddatsir/74:4).

Sujud itu sendiri mempunyai dua macam; yaitu sujud majazi yakni tersungkurnya kepala di atas lantai atau sajadah, dan sujud haqiqah, yakni terciptanya kesadaran kolektif di dalam diri manusia (Al-Sajid), bahwa kita tidak ada apa-apanya di hadapan kemahamuliaan Allah SWT.

Dalam arti ini, seseorang bisa mengamalkan sujud ketika sedang duduk, berdiri, berjalan, atau berkendaraan. Yang penting kepasrahan diri secara total terjadi pada diri seseorang, bahwa dirinya tidak ada apa-apanya di hadapan kebesaran Allah SWT. (Bersambung)

]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *