Cuplikan Kisah Setahun Evakuasi WNI Dari China Mari Kita Mencontoh Wuhan, Bersusah-susah Dahulu, Kelar Pandemi Covid Kemudian

Bulan depan, tepatnya pada 2 Maret 2020, pandemi Covid-19 akan merayakan ulang tahunnya yang pertama di Indonesia. Semoga, usianya tidak bertambah panjang. Cepat-cepat musnah. 

Pada awal Februari 2020, Covid memang belum masuk Tanah Air. Tapi hiruk-pikuknya, sudah mulai terasa. Setahun yang lalu, pemerintah mengevakuasi 238 WNI dari Kota Wuhan, China. 

Seperti diketahui, Wuhan adalah kota yang pertama kali mengumumkan kasus Covid, yang ditengarai berasal dari pasar Huanan.

Wuhan sebagai episentrum pertama Covid-19, kini telah kembali normal. Sementara, Indonesia masih berjuang mengatasi pandemi ini.

Terkait hal ini, melalui tulisannya di Kawal Covid19, mahasiswi Program Doktoral di School of Economics and Business Administration Chongqing University, Hillyatu Milyati Rusdiyah mengajak Indonesia untuk mencontoh kegigihan Wuhan dalam menuntaskan pandemi Covid. Masyarakat setempat yang rela bersusah-susah dahulu agar lekas keluar dari pandemi, semestinya bisa menjadi inspirasi.

“Setelah merasakan 10 hari lockdown di Wuhan, akhirnya kami dievakuasi dari Wuhan oleh pemerintah Indonesia saat kasus Covid-19 semakin meningkat hari demi hari. Wuhan di-lockdown pada 23 Januari 2020 saat kasus positifnya mencapai 442 kasus dengan 8 kasus kematian,” kata Hillyatu mengawali tulisannya.

“Pada hari itu, saya sempat menemui kesulitan untuk mencapai titik penjemputan di kampus HUST. Bus evakuasi tidak dapat menjangkau komplek apartemen saya, karena tidak mendapat izin. Sedangkan transportasi umum sepenuhnya berhenti, termasuk taxi by demand yang sebelumnya masih diizinkan untuk beroperasi,” imbuhnya.

Setelah berkomunikasi dengan Tim KBRI, Hillyatu memutuskan naik motor listrik menuju titik penjemputan berbekal surat keterangan dari KBRI.

Di perjalanan, ia menyaksikan langsung betapa sepinya Wuhan. Seperti kota yang ditinggal penghuninya. Hanya petugas kebersihan yang terlihat di jalan. Menyemprotkan disinfektan dan membersihkan sampah-sampah yang berserakan.

Bus evakuasi tiba sekitar pukul 10.00, untuk kemudian pergi ke 3 kampus yang berbeda untuk menjemput para WNI.

Dalam perjalanan menuju bandara, ia sempat melewati beberapa rumah sakit besar. Rumah sakit tersebut terlihat normal tanpa keramaian yang berarti. Sekitar pukul 12.00, para WNI yang akan dievakuasi itu tiba di bandara. Namun, belum diizinkan masuk oleh petugas.

“Siang itu, bandara sangat sepi. Hanya rombongan kami yang meramaikan. Sebelum masuk bandara, kami harus melalui dua kali pemeriksaan suhu badan. Bila suhu badan di atas 37 derajat, kami tidak diperkenankan masuk. Sesampainya di bandara, kami harus menunggu rombongan dari kota lain, yang baru akan tiba menjelang Maghrib,” kenang Hillyatu, yang kala itu sendirian di Wuhan. Suami dan anaknya sudah lebih dulu kembali ke Tanah Air pada 10 Januari 2020.

 

Sore itu bandara mulai ramai, karena rombongan evakuasi dari negara lain mulai berdatangan seperti, WN Perancis, Arab Saudi, Myanmar, dan India. Sambil menunggu check in, para WNI mengisi formulir kesediaan untuk dikarantina selama 14 hari di Natuna.

“Saat itulah, kami baru mengetahui bahwa kami akan dibawa ke Pulau Natuna untuk karantina, karena sebelumnya kami tidak mengetahui detail proses evakuasi yang akan kami lalui,” ungkap Hillyatu.

Pesawat Batik Air yang akan mengevakuasi WNI, tiba di Wuhan sekitar pukul 19.15 waktu setempat. Namun, mereka baru diperbolehkan boarding menjelang dini hari.

Saat boarding, para WNI tersebut mengisi formulir kesehatan, termasuk riwayat kesehatan 14 hari sebelumnya. Kalau ada gejala panas, batuk, dan pilek, mereka tidak diizinkan untuk boarding.

Pukul 04.00 pagi, mereka mulai mengantre untuk masuk pesawat. Saat mengantre di garbarata, pilot menyambut kami dengan selembar kertas yang bertuliskan “Ayo muleh, Rek! (Ayo Pulang!).

“Itulah momen yang akan selalu kami kenang, dalam proses evakuasi. Sebelum menuju Natuna, kami transit terlebih dahulu di Batam untuk berganti pesawat. Saat keluar dari pesawat Batik, masing-masing kami disemprot disinfektan. Pesawat TNI yang membawa kami menuju Natuna, dilapisi plastik di seluruh permukaan lantai dan tempat duduknya. Kami merasa seperti alien yang baru datang dari luar angkasa,” papar Hillyatu.

Sesampainya di Natuna, kami baru menyadari adanya penolakan dari warga sekitar. Hingga pemerintah harus menurunkan 1.000 personil gabungan TNI dan Polri untuk berjaga di sekitar komplek karantina.

“Sedih kami rasakan, ditolak di negeri sendiri dan dianggap membahayakan. 14 hari karantina di Natuna, bosan kadang melanda. Manusiawi, karena kami hanya boleh keluar sekitar hanggar. Melihat pesawat landing dan take off adalah hiburan kami setiap hari. Sambil berharap, pesawat yang menjemput kami pulang, segera datang,” tutur peraih gelar Master dari Nanchang University ini.

Setelah menyelesaikan karantina 14 hari di Natuna, barulah mereka diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing. Terkadang, ada saja stigma negatif yang didapati karena pulang dari Wuhan. “Namun kami menyadari, itulah konsekuensi yang harus kami terima, meskipun itu tidak mudah,” sambung Hillyatu.

 

Sejak Juli 2020, kegiatan pendidikan di Wuhan telah kembali normal. Mahasiswa lokal telah diperbolehkan kembali ke kampus. Namun masih menerapkan close off management. Orang luar dilarang masuk kampus. Mahasiswa hanya seminggu sekali boleh keluar kampus.

Hingga kini, Hillyatu tetap mengikuti perkuliahan secara online. Karena keterbatasan jaringan internet yang ada, banyak materi yang terlewatkan. Kadang nyambung, kadang mati. Beruntung, dosen-dosen di sana sangat memaklumi.

Hillyatu menuturkan, sampai saat ini, pemerintah China belum memperbolehkan mahasiswa asing di luar China untuk kembali.

Sejak awal pandemi hingga saat ini, pemerintah China alih-alih melonggarkan tindakan preventif, malah justru memperketat. Jika dulu masuk antar kota antar provinsi hanya cukup tes PCR, kini harus disertai karantina 14 hari dari daerah risiko rendah dan sedang. Sedangkan dari daerah berisiko tinggi  wajib karantina ditingkatkan menjadi 21 hari.

Melihat Wuhan yang kembali normal, Hillyatu mengaku ingin segera kembali kesana. Wuhan yang dulu ditakuti, kini justru diminati.

Pada libur National Day tahun lalu, Wuhan adalah destinasi favorit turis lokal China selama liburan. Jika dulu semua orang yang keluar dari Wuhan harus dikarantina 14 hari, kini orang yang ingin memasuki Wuhan justru harus dikarantina 14 hari.

“Ada baiknya, kita belajar dari Wuhan. Bersakit-sakit di depan, bersenang-senang kemudian. Pandemi ini tidak akan berakhir, kalau kita tidak menaati protokol kesehatan. Mencegah lebih baik dari mengobati,” pungkas Hillyatu. [HES]

]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *