Banjir Dan Longsor Awal Tahun Dosa Ekologis Kita Banyak

Komisi IV DPR menyayangkan musibah banjir dan longsor yang terjadi di sejumlah wilayah pada awal tahun ini. Semua pihak diminta melakukan ‘tobat ekologis’ untuk mengembalikan fungsi alam yang sudah makin banyak berubah.

“Soal banjir ini, saya kira kita perlu melakukan pertobatan ekologis. Kenapa? Karena dosa ekologis kita sudah terlalu banyak,” kata Anggota Komisi IV DPR Yohanis Fransiskus Lema di Jakarta, kemarin.

Dosa ekologis, kata Lema, yaitu dosa perusakan lingkungan yang dilakukan secara masif, sistematis dan berkelanjutan yang dilakukan oleh negara dan korporasi.

Bencana banjir besar di Kalimantan Selatan dinlai bukan hanya persoalan anomali cuaca saja, tapi juga akibat perbuatan manusia.

“Yang namanya anomali cuaca itu perubahan iklim, efek rumah kaca, tapi semuanya ‘man made disaster’ (bencana yang diakibatkan ulah manusia). Bukan natural disaster (bencana karena alam),” katanya.

Untuk itu, dia meminta Pemerintah bekerja keras dan ekstra serius menemukan faktor penyebab deforestasi dalam skala besar dan masif ini. Apalagi sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini sudah terjadi alih fungsi lahan yang terbilang cukup besar.

“Kami buka data dan melihat ada izin-izin yang diberikan kepada industri, pertambangan dan perkebunan. Kami tidak anti investasi tetapi semangat dan tujuan pembangunan nasional tidak boleh hanya sekadar berorientasi kepada pertumbuhan dan akumulasi kapital,” tegas politisi muda PDIP ini.

Karena itu, dia mendorong penegakan hukum yang tegas disertai sanksi yang berat harus diberikan kepada para pelaku yang menyebabkan alih fungsi lahan. Apalagi yang berimbas kepada kerusakan lingkungan.

“Audit ekologis ini perlu dan di ujung semua ini ada keadilan ekologis di sana. Kita bicara soal bumi, rumah tempat kita berpijak. Rezim pemerintahan boleh berganti, tapi bumi kita berpijak ini titipan anak cucu kita. Saya sedih dan prihatin kalau (bencana banjir) selalu kita katakan ini anomali cuaca. Saya kira ini persoalannya sangat strukturalis,” pungkas dia.

Sementara, anggota Komisi IV Darori Wonodipuro menegaskan, di Undang-Undang Lingkungan Hidup sejatinya sudah ada sanksi hingga 15 tahun dan denda Rp 5 miliar kepada para pelaku perusak lingkungan.

Sayangnya, sanksi pidana tidak diterapkan. Pemerintah lebih fokus mengejar pelaku secara perdata.

“(Divonis) denda Rp 5 miliar tapi juga belum dibayar. Tolong sanksi pidana dipakailah. Selama ini diproses pengadilan dampak dari kebakaran, bukan akar permasalahan. Bukan hutan yang dibakar tapi karena asap, kemudian dihitung-hitung bayar segini,” katanya.

Darori mengaku kaget dengan makin masifnya kegiatan perambahan hutan untuk perkebunan. Banyak alih fungsi lahan di Kalimantan Tengah.

“Saya kaget dengan Pangkalan Bun. Waktu saya terbang ke sana itu dulu masih banyak pohon, tapi sepanjang naik mobil 5 jam itu sudah tidak ada pohon. Semua berubah jadi sawit, umur 4-5 tahun,” katanya. [KAL]

]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *