ASN Harus Punya Mental Melayani Jangan Cuma Minta Gaji Gede, Tapi Produktivitas Tak Maksimal

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai, kualitas pelayanan publik di Indonesia belum mengalami banyak perbaikan.

Aparatur Sipil Negara (ASN), selaku garda terdepan pelayan publik, harus dibekali lebih baik lagi. “Apalagi saat work from home (WFH) seperti ini, di daerah masih banyak terkendala soal teknologi informasi,” ujar Trubus, kepada RM.id, Senin (8/2). 

Pernyataan ini merupakan pendapat atas pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat laporan tahunan Ombudsman 2020. Presiden menekankan pentingnya pelayanan publik yang prima kepada masyarakat.

Jokowi juga mengingatkan perlunya transformasi sistem, tata kelola, serta perubahan pola pikir dan budaya kerja birokrasi di Indonesia. Pelayanan publik harus meninggalkan model kerja yang kaku, terjebak dalam hal-hal prosedural dan administratif.

Trubus mengamini catatan dari Presiden Jokowi tentang pelayanan publik itu. Terlebih, soal kualitas sumber daya manusia (SDM), dalam hal ini ASN. Salah satu yang disorotinya adalah mentalitas para pegawai negeri yang menurutnya, ingin dilayani, bukan melayani. “Di satu sisi minta gajinya tinggi, tapi produktivitasnya belum maksimal,” sindirnya.

Trubus menyarankan pemerintah melakukan pengawasan ketat terhadap ASN dalam pemberian pelayanan terhadap masyarakat. Perhatikan juga birokrasi-administrasi, harus cepat dalam memberikan pelayanan dan tidak menunda pekerjaan.

Dia pun mengingatkan tentang peristiwa 1,6 juta ASN tenaga administratif yang akan pindah ke desa, pada Agustus 2020 lalu. Menurutnya, ini adalah indikasi kurangnya kualitas SDM ASN dan minimnya kualitas kerja untuk masyarakat. Padahal, mereka dibiayai oleh negara. “Itu menjadi beban negara. Harus jelas, 1,6 juta itu pensiun dini atau pindah ke tempat lain,” tutur Trubus.

Selain itu, Trubus juga memberikan catatan khusus soal Ombudsman. Dia meminta lembaga ini lebih aktif lagi untuk mengayomi masyarakat. Terutama, ketika mendapatkan laporan dari masyarakat. Ombudsman, harusnya bisa langsung berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika ada dugaan rasuah.

Contohnya, dalam kasus toilet sekolah di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat yang menelan anggaran sekitar Rp 96,8 miliar. Juga, dalam kasus penertiban pedagang kaki lima (PKL) di Pasar Tanah Abang. Dalam dua kasus ini, harusnya Ombudsman berada di paling depan. [BSH]

]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *